Beranda | Artikel
Bab Menghilangkan Najis Dan Penjelasannya (27-28)
Jumat, 19 November 2010

باب إزالة النجاسة وبيانـها
BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA (27-28)

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Alhamdulillah. Edisi kali ini kami dapat menampilkan kembali tulisan dari Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, setelah beberapa edisi sempat terputus. Insya Allah, kami akan selalu berupaya agar tulisan-tulisan beliau dapat kami hadirkan ke sidang pembaca, sehingga kian menggairahkan semangat kita untuk kian mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selamat menyimak.

. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي اللّه عنه قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم عَنِ الخَمْرِ : تُتّخَذُ خَلاًّ ؟ فقال : لا خْرَجَهُ مسلمٌ والتِّرْمذي وقَالَ: حسن صحيح

27. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang khamr, yang dipakai sebagai cuka? Beliau menjawab,”Tidak boleh.” [Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi, dan ia berkata,”Hasan shahih]

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH, Diriwayatkan oleh Muslim (6/89), Abu Dawud (no. 3.675), Tirmidzi (no. 1.293), Darimi (2/118) dan Ahmad (3/119,180,260), semuanya dari jalan Yahya bin Abbad Abi Hubairah, dari Anas bin Malik, ia berkata:

أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى اللّه عليه وسلم عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوْا خَمْرًا ؟  فَقَالَ : أهْرِقْهَا . قَالَ أَفَلاَ نَجْعَلُهَا خَلاَّ ؟ قَالَ : لاَ 

Bahwa Abu Thalhah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang beberapa anak yatim (yang ada dalam pemeliharannya) yang mereka telah mewarisi khamr?
Maka beliau menjawab: “Buanglah (khamr) itu!” Abu Thalhah bertanya lagi,”Apakah tidak lebih baik kami buat saja khamr itu menjadi cuka?” Beliau menjawab,”Tidak boleh!” (Lafazh Abu Dawud dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya.)

Dalam salah satu riwayat Ahmad dan Darimi dengan lafazh:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ فِي حِجْرِ أَبِي طَلْحَةَ يَتَامَى فَابْتَاعَ لَهُمْ خَمْرًا فَلَمَّا حُرِّمَتِ الْخَمْرُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَجْعَلُهُ ( وَفِيْ رِوَيَةٍ : أَصْنَعُهُ) خَلاًّ ؟ قَالَ : (( لاَ )) . قَالَ : فَأَهْرَاقَهُ .

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Ada beberapa anak yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Thalhah. Lalu Abu Thalhah memberikan untuk mereka (dari harta waris mereka) khamr. Maka tatkala khamr telah diharamkan, Abu Thalhah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya: “Bolehkah aku buat khamr itu menjadi cuka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh!” Berkata Anas: Lalu Abu Thalhah membuang khamr tersebut.

FIQIH HADITS
1. Haram hukumnya menjadikan khamr menjadi cuka.
2. Perintah membuang khamr meskipun kepunyaan anak yatim.
3. Kebolehan mengusahakan atau memperdagangkan harta yatim.
4. Taslim-nya para sahabat terhadap perintah Allah dan RasulNya.
5. Jika tidak mengetahui, bertanyalah kepada Ahli Ilmu, agar tidak terjerumus kepada sesuatu yang haram.
6. Orang yang tidak tahu atau belum sampai hukum kepadanya tidak terkena dosa.
7. Hukum asal mu’amalat boleh sampai datang keterangan yang melarangnya.

8. Bahwa khamr pada hakikatnya tidak dimiliki oleh seseorang atau tidak ada hak pemilikan. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan Abu Thalhah untuk membuangnya atau menumpahkannya, meskipun khamr itu kepunyaan anak yatim. Dan perbuatan tersebut tidak dianggap oleh agama sebagai menyia-nyiakan harta apalagi harta anak yatim.

9. Tidak boleh mewariskan sesuatu yang haram seperti khamr, babi atau patung atau lukisan yang bernyawa seperti gambar manusia atau binatang.

10. Harta anak yatim boleh dibelikan barang untuk mereka manfaatkan atau untuk diperdagangkan

11. Tempat khamr seperti botolnya dan lain-lain, imma dihancurkan atau dimanfaatkan dilihat dari jurusan masih bisa dimanfaatkan atau tidak. Jika masih bisa dimanfaatkan dan tidak ada lagi disitu syi’ar atau tanda ke-khamrannya, seperti namanya, maka boleh dimanfaatkan. Dan kalau tidak ada kemanfaatannya, maka dihancurkan bersama khamrnya. (Lihat dalil dan fiqihnya pada hadits selanjutnya no. 28).

12. Hadits yang mulia ini dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di bab najis sesuai dengan madzhabnya dan madzhab jumhur ulama bahwa khamr itu najis, selain mereka memakai kaidah bahwa sesuatu yang haram itu najis. Padahal kaidahnya yang benar ialah bahwa sesuatu yang najis itu pasti haram dan tidak sebaliknya. Karena racun itu haram, tetapi racun itu suci dan tidak ada seorangpun ulama yang menajiskannya. Makan dan minum dengan bejana emas atau perak haram hukumnya bagi laki-laki dan perempuan, tetapi bejana itu suci dan tidak ada seorangpun ulama yang menajiskannya. Dan begitulah seterusnya yang dapat kita kiaskan yang paimnya dengan dua contoh di atas.

Oleh karena itu hadits di atas lebih tepat dibawakan oleh Al hafizh di tempat yang lain, seperti di kitab makanan atau minuman, bukan di kitab Thaharah di bab najis. Akan tetapi madzhab beliaulah yang memaksa beliau menurunkan hadits di atas di bab najis, karena khamr itu najis. Padahal telah ada kaidah yang telah disepakati “bahwa asal segala sesuatu itu suci, sampai datang dalil yang menajiskannya”.

Tentang khamr tidak ada satupun dalil yang menajiskannya. Oleh karena itu, dia tetap di dalam hukum asalnya suci. Maka barangsiapa yang menajiskannya, hendaklah dia memberikan dalil yang sharih (tegas) yang menyatakan bahwa khamr itu najis.

وَعَنْهُ رضي اللّه عنه قَالَ: لَمّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ ، أَمَرَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أَبَا طَلْحَةَ ، فَنَادَى : إنَّ الله ورَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأهْلِيّةِ، فإنها رِجْسٌ. متفق عليه.

28. Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Ketika hari perang Khabar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalhah untuk menyeru “sesungguhnya Allah dan RasulNya telah melarang kamu makan daging keledai negeri, karena hal tersebut najis (kotor)”. (Muttafaq ‘alaihi).

TAKHRIJUL HADITS
Dikeluarkan oleh Bukhari (no. 4.191, 4.199 dan 5.528 ), dan Muslim (juz 6 hlm. 65), dan lain-lain.

Lafazh yang dibawakan oleh al hadist, merupakan gabungan antara riwayat Bukhari dan Muslim, karena di dalam lafazh Bukhari tidak diterangkan siapa yang diperintahkan oleh Nabi untuk menyeru kepada manusia. Sedangkan dalam riwayat Muslim diterangkan, bahwa orang itu adalah Abu Thalhah, dan dalam riwayat Muslim tidak ada lafazh:

( اْلأَهْلِيَّةُ )

Sedangkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan, bahwa keledai yang dimaksud ialah keledai kampung atau piaraan (اْلأَهْلِيَّةُ).

Selain itu Al Hafizh juga telah meringkas riwayat Anas di atas.
Ketahuilah, bahwa hadits tentang haramnya keledai kampung telah diriwayatkan oleh jama’ah para sahabatnya, diantaranya:

1. Anas bin Malik (hadits di atas).
2. Ali bin Abi Thalib.

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِي اللَّه عَنْهم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ اْلإِنْسِيَّةِ .

Dari Ali bin Abi Thalib, (ia berkata),”Sesungguhnya Rasulullah telah melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar dan memakan daging keledai kampung.” Diriwayatkan Bukhari (no. 4.216, 5.115, 5.523, 6.961) dan Muslim (juz 6 hlm. 63).

3. Ibnu Umar. Dan haditsnya sama dengan hadits Ali. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan keledai kampung pada perang Khaibar. Diriwayatkan Bukhari (no. 4.271, 4.218, 5.521, 5.522) dan Muslim (6/63).

4. Jabir bin Abdullah. Haditsnya juga sama dengan yang sebelumnya, diriwayatkan Bukhari (no. 4.219, 5.520, 5.524) dan Muslim (6/66). Dalam riwayat Jabir ini ada tambahan:

وَرَخَّصَ (وَفِيْ رِوَيَةٍ : وَأَذِنَ) فِيْ لُحُوْمِ الْخَيْلِ .

Dan Beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengizinkan untuk memakan daging kuda.

5. Abu Tsa’labah.

أَنَّ أَبَا ثَعْلَبَةَ قَالَ : حَرَّمَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُوْمَ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ. رواه لبخاري ومسلم

Berkata Abu Tsa’labah,”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan daging keledai kampung.”
Diriwayatkan Bukhari (no. 5.527) dan Muslim (6/63).

6. Barra’ bin Azib, terdapat dalam riwayat Bukhari (no. 4.221, 4.223, 4.225, 4.226, 5.525) dan Muslim (6/64).

7. Abdullah bin Abi Aufa, terdapat dalam riwayat Bukhari (no. 4.220, 4.222, 4.224, 5.526) dan Muslim (6/63, 64).

8. Salamah bin Akwa’, diriwayatkan Bukhari (no. 2.477, 4.196, 5.497, 6.146, 6.331, 6.891) dan Muslim (6/65).

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِي اللَّه عَنْه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نِيرَانًا تُوقَدُ يَوْمَ خَيْبَرَ فَقَالَ : عَلَى مَا تُوقَدُ ذِهِ النِّيرَانُ ؟ قَالَ (وَفِيْ رِوَيَةٍ : قَالُوا) : عَلَى الْحُمُرِ اْلإِنْسِيَّةِ قَالَ : اكْسِرُوهَا وَأَهْرِقُوهَا قَالُوا : أَلاَ نُهَرِيقُهَا وَنَغْسِلُهَا ؟ قَالَ : اغْسِلُوا 

Dari Salamah bin Akwa’, (ia berkata): Bahwasannya Nabi melihat api yang dinyalakan (di periuk atau tempat memasak), lalu Beliau bertanya,”Untuk (memasak) apakah api-api ini dinyalakan?” Mereka menjawab,”Untuk (memasak) keledai-keledai kampung.” Beliau bersabda,”Pecahkanlah (periuk-periuknya itu) dan tumpahkanlah (isi)nya!” Mereka bertanya: “Tidakkah kami buang saja (isi)nya, lalu kami cuci (periuk-periuk)nya?” Beliau menjawab,”Cucilah (periuk-periuknya itu).” (Lafazh Bukhari dalam salah satu riwayatnya, no. 2.477).

FIQIH HADITS
1. Hadits-hadits shahih di atas menjelaskan kepada kita haramnya daging keledai kampung atau piaraan.

(الْحُمُرُ اْلأَهْلِيَّةِ أَوِ اْلإِنْسِيَّةِ)

Inilah yang menjadi madzhabnya jumhur ulama dari sahabat dan tabi’in dan seterusnya, berdasarkan hadits shahih di atas.

Adapun daging keledai liar (حِمَارٌ وَحْشِيٌّ), maka hukumnya halal, berdasarkan riwayat di bawah ini:

Abu Qatadah pernah bertanya kepada Rasulullah tentang masalah ini:

يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَصَبْتُ حِمَارَ وَحْشٍ وَعِنْدِيْ مِنْهُ فَضِلَةٌ ؟   فَقَالَ لِلْقَوْمِ : كُلُوْا . وَهُمْ مُحْرِمُوْنَ . رواه البخاري ومسلم

“Ya, Rasulullah. Aku telah berburu keledai liar dan masih ada padaku sisanya?” Beliau bersabda kepada para sahabat,”Makanlah olehmu!” (Berkata Abu Qatadah): Dan mereka dalam keadaan ihram (sedangkan aku tidak). (Dikeluarkan oleh Bukhari, no, 1.821 dan Muslim, juz 4/14 –17, dalam hadits yang panjang.

Dalam lafazh yang lain, Beliau bersabda:

هُوَ حَلاَلٌ فَكُلُوْا 

Dia (daging keledai liar) itu halal, maka makanlah!

Dalam lafazh yang lain, berkata Abu Qatadah:

فَأَخَذَهَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَهَا .

Lalu Rasulullah mengambil, kemudian memakannya. (Juga berdasarkan hadits Sha’b bin Jats- Tsamah yang dikeluarkan oleh Bukhari, no.1.825 dan Muslim, 4/ 13-14.
(Lebih lanjut tentang haramnya keledai kampung dan halalnya keledai liar, lihatlah Syarah Muslim, juz 13 hlm. 90-95. Fat-hul Baari’, Kitabudz Dzaba-ih Wash Shaid, Bab 28. Raudhatun Nadiyyah, juz 2 hlm. 182-183 Kitabul Ath’imah, oleh Siddiq Hasan Khan).

2. Hadits-hadits di atas, khususnya hadits Anas bin Malik yang dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam bab najis telah dijadikan dalil oleh jumhur ulama tentang najisnya keledai kampong, berdasarkan ketegasan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Akan tetapi, yang perlu diketahui bahwa kenajisannya hanya terbatas pada dagingnya, dan tidak pada bulu dan air liurnya. Dari sini tersingkaplah kemusykilan mereka yang mengatakan, bahwa keledai kampung itu suci tidak najis. Sebab kalau keledai kampung itu najis, kenapa Nabi n bersama para sahabat menaikinya, yang tentu saja tidak akan selamat dari menyentuh bulunya atau terkena air liurnya?

Dijawab:
Pertama. Yang najis dari keledai kampung itu hanya terbatas pada dagingnya, bukan bulunya atau air liurnya. Oleh karena itu, tidak ada halangan untuk menaikinya sebagaimana perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Kedua. Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa daging keledai itu najis. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membuangnya dan mencuci tempat masaknya (periuk atau kualinya). Bukankah semua itu menjelaskan kepada kita bahwa daging keledai kampung itu najis? (Al Munazharatul Fiqhiyyah, hlm.204-207 oleh Abdurrahman Nashir as Sa’di).

Anehnya, meskipun sedemikian terang najisnya daging keledai kampung itu, Shan’ani masih saja meminta dalilnya. Dia berkata dalam kitabnya Subulus Salam, ketika mensyarah hadits Anas di atas:

“Apabila engkau telah mengetahuinya (yakni setiap yang najis itu pasti haram dan tidak sebaliknya, pen), maka haramnya keledai (kampung) dan khamr yang telah ditunjuki oleh nash, tidaklah menetapkan bahwa keduanya itu najis. Untuk menetapkan najisnya tidak dapat tidak harus ada dalil yang lain. Kalau tidak ada, maka keduanya tetap pada dasar yang telah disepakati, yaitu suci. Maka barangsiapa yang menyalahinya, hendaklah ia memberikan dalilnya!”

Saya jawab: Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik dan lain-lain. Yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas bersabda, bahwa daging keledai kampung itu najis. Dan Beliau memerintahkan membuangnya dan mencuci tempat memasaknya, sebagaimana telah saya turunkan sebagian haditsnya di atas. Apakah semua ini tidak menunjukkan bahwa daging keledai kampung itu najis?

Adapun khamr, memang tidak ada satupun dalil yang menajiskannya. Oleh karena itu kembali kepada hukum asalnya, yaitu suci.

3. Bahwa hukum asal segala sesuatu itu mubah (boleh), sampai datang dalil yang melarangnya. Ini berdasarkan perbuatan para sahabat yang langsung menyembelih, kemudian memasak daging keledai kampung tersebut. Tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang dengan hukum asal di atas. Kemudian mereka berhenti ketika telah datang larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Bahwa suatu benda yang suci, apabila bersentuhan dengan benda yang najis, niscaya dia menjadi najis. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para sahabat mencuci kuali tempat memasak daging keledai kampung. Walaupun asalnya suci, tetapi menjadi najis karena bersentuhan dengan daging keledai kampung yang najis. (Fat-hul Bari, no. 5.528).

5. Bahwa sesuatu yang dipakai sebagai alat untuk sesuatu yang haram, seperti botol untuk khamr atau periuk (kuali) untuk memasak daging babi atau daging keledai kampung, jika masih bisa dimanfaatkan, maka boleh dipakai. Dan jika tidak bisa dimanfaatkan, hendaklah dihancurkan atau dipecahkan. Ini berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, agar mereka menghancurkan kuali-kuali tempat memasak daging-daging keledai kampung. Kemudian, ketika sebagian sahabat ingin memanfaatkannya setelah dicuci karena najisnya daging keledai kampong, Nabi pun membenarkannya. (Fat-hul Bari, Kitab Mazhaalim, Bab 32).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2895-bab-menghilangkan-najis-dan-penjelasannya-27-28.html